KORANKITA.ONLINE - Politik Islam Indonesia dipahami mulai sebagai politik yang dilakukan oleh umat Islam Indonesia dalam bentuk partai politik, mengagendakan Islam dalam peraturan kenegaraan sampai kepada penggunaan Islam untuk kepentingan pribadi (religiusitas), politik partai dan kelompok.
Tulisan sederhana ini akan memaparkan bahwa politik Islam dalam Al-Qur’an, banyak berbicara tentang nilai dan prinsip politik Islam, yang pada kajian ini membahas surat Ali Imran ayat 159 yang berkenaan dengan musyawarah.
Dengan menganalisa ayat ini dari tafsir al-Maraghi, tafsir al-Misbah dan tafsir al-Azhar, tulisan ini berargumen bahwa musyawarah merupakan salah satu nilai dan prinsip politik Islam yang dipentingkan dalam Al-Quran. Tafsir-tafsir ini malah menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin umat Islam pada waktu itu sering mengambil keputusan yang berasal dari para sahabat sebagai keputusan bersama, bukan keputusan yang bersumber dari dirinya sendiri, bila kita melakukan pendekatan analisanya, ternyata Nabi Besar Muhammad SAW bukanlah orang yang diktator sebagaimana tuduhan kaum orientalis.
Dengan demikian, tulisan ini ingin sekali menunjukkan bahwa salah satu nilai utama nan agung dan merupakan prinsip politik Islam dalam Al-Qur’an adalah *anjuran untuk melakukan musyawarah* dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan banyak orang dan dengan melibatkan banyak orang. Tulisan ini juga menunjukkan bahwa keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak, bukan suara pemimpin politik saja, adalah keputusan yang sesuai dengan nilai dan prinsip politik Islam yang tercantum didalam Al-Qur’an dan Sabda agung Nabi Muhammad SAW yang merupakan wahyu dari Allah SWT.
Dengan demikian, Islam sebagai agama yang sangat ramah, rahmatal lil'alamin atau bahkan koheren dan relevan bagi perkembangan zaman dan melengkapi disegala lini dan kebutuhan manusia.
Bagaimana perkembangan politik Islam di Indonesia?
Mari kita bahas sedikit..
Adalah tidak banyak gunanya umat Islam Indonesia ini lelah-lelah berteriak-teriak menolak anti terhadap rezim kapitalis, anti terhadap rezim yang anti agama dll, kalau mereka sendiri tidak mendukung partai-partai Islam yg telah banyak terbukti berkomitmen membela umat Islam, dan bahkan melindungi masyarakat non muslim, juga terbukti telah memperjuangkan dan membela aspirasi umat Islam.
Kesalahan, keawaman dan ketidaksadaran mayoritas umat Islam terhadap betapa pentingnya kedudukan partai politik pada kehidupan mereka, yang kedudukan dan pentingnya bagi umat Islam ini bagaikan pentingnya air bagi ikan. Di mana umat Islam itu hanya akan hidup nyaman, dan nikmat ketika kondisi dan situasi politiknya juga kondusif aman dan nyaman. Inilah yang menjadi penyebab utama mereka selama ini menjadi target bagi para musuh-musuh politik mereka. Mereka sejak zaman pra kemerdekaan telah dinina bobokan oleh para penjajah, cukup para ulama itu mengajar di madrasah saja, di pesantren, dan perguruan tinggi, tidak usah ikut berpolitik. Bisikan seperti ini menurut bahasa dan istilahnya Imam Al Jauzi, adalah termasuk talbis Iblis, yakni bisikan dan hembusannya iblis.
Tidak ingatkah umat Islam negeri Indonesia ini dengan sejarah kelamnya negara Nigeria, negara yang mayoritas dan hampir 100 % penduduknya beragama muslim Sunni.
Ulama-ulama di sana banyak yang obsesinya dan cita-citanya cukup membangun pesantren, mendirikan sekolah-sekolah hebat, modern dan bonafide, membangun lembaga-lembaga tahfidz Al Qur'an, mencetak para juru dakwah, dan imam-imam masjid. Tapi satu kesalahan besar kami menurut pengakuan salah seorang warga Nigeria "Selama ini kami tidak mempedulikan politik, dan tidak mencetak kader-kader politik, dan tidak menyadarkan umat Islam dan masyarakat muslim betapa pentingnya memimilih para pemimpin pemimpin politik yang memperjuangkan aspirasi kami umat Islam di Nigeria".
Akhirnya selama ini presiden kami adalah seorang yang beragama Nasrani, begitu juga para menteri-menterinya, mayoritas mereka dari orang-orang Nasrani, dan posisi-posisi strategis negara kami diisi oleh orang-orang non muslim, padahal negeri kami mayoritas adalah muslim sunni".
Kesalahan besar negara Nigeria ini jangan sampai terulang kembali di negeri kita yang mayoritas berpenduduk muslim, yakni karena para kyai, para ustadz, para cendikiawan, para pendidiknya, para pemikirnya, dan para ulamanya hanya sibuk mendirikan dan membangun sekolah, lembaga pendidikan, pesantren, dan mencetak para penghafal Al Qur'an saja, tapi mereka tidak melakukan penyadaran kepada umatnya akan penting aspek politik di dalam kehidupan bernegara mereka.
Khalifah Umar Ibnu Abd Aziz telah memberikan nasehatnya: "Sesungguhnya dengan politik/kekuasaan ini Allah swt akan mencabut sesuatu yang tidak dapat dicabut oleh Al Qur'an sekalipun".
Gus Baha, seorang penceramah generasi millenial pernah mengatakan: "Seribu fatwa tentang haramnya miras, dan perjudian sekalipun tidak akan banyak berguna tanpa tanda tangan atau SK seorang Walikota/Bupati/Gubernur tentang pelarangan miras, dan perjudian".
Jauh hari sebelumya juga seorang Ilmuwan muslim yang hidup di abad 8 H/14 M , bapak pendiri ilmu sosiologi, Ibnu Khaldun sudah berbicara pentingnya politik Islam, yang merupakan warisan politik kenabian, beliau mengatakan: "Jenis Politik di dunia ini hanya ada dua macam, yakni politik keagamaan dan politik sekuler.
Politik keagamaan adalah politik yang sejati dan hakiki, dan ia adalah warisan kenabian, dan manfaatnya bersifat ganda, yaitu untuk kemaslahatan dunia dan akhirat sekaligus, dan sumbernya adalah wahyu. Sedangkan politik sekuler, ia adalah politik yang tidak asli, tidak genuine (abal-abal/KW). Karena sumbernya sebatas akal fikiran tokoh-tokohnya semata, yang tidak membasiskan pemikirannya dari sumber wahyu".
Demikian ucapannya di dalam buah karyanya "Mukaddimah Ibnu Khaldun".
Selain Ibnu Khaldun, seperti Imam Abu Ya'la, al Mawardi, dll dari kalangan ilmuan bidang politik Islam, mereka semua sepakat mengatakan bahwa tujuan utama dari politik Islam adalah hanya satu, yakni "Melindungi agama dengan mensiasati aturan politik pada kehidupan dunia ini".
Jadi setiap aturan politik apapun yang target dan tujuannya nya tidak untuk melindungi umat Islam di dalam kehidupan beragama mereka/moralitas mereka, maka ia bukanlah ajaran politik kenabian, tapi ia termasuk ajaran politik sekuler, yang tidak menghadirkan pahala bagi pelakunya.
Oleh : Muhammad Najib
(Ketua Umum HMI Komisariat FSH UIN-SU PERIODE 2017-2018)
0 Komentar